
A.
Mengontrol Diri
Ilmuan,
filsuf, dan mistikus terkenal bernama Al-Ghazali mengutip pendapat Musa Djabar
dalam salah satu bukunya yang tekenal, menyatakan bahwa orang-orang yang
berhasil melakukun kontrol diri melakukan cara yang berbeda untuk menaklukan
diri. Pendapat Musa Al-Jabar menyampaikan cara mengontrol diri yang berkaitan
dengan fisik. Cara ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik secara bertahap
maupun sekaligus. Tiga cara itu adalah pertama, tidur sekedarnya, kedua,
berbicara seperlunya, dan ketiga, makan secukupnya.
1. Tidur Sekedarnya
Bagi manusia tidur memiliki dua fungsi utama: membuat tubuh menjadi rileks untuk kegiatan berikutnya dan memberi kesempatan pada otak untuk melakukan konsolidasi dalam pembentukan memori. Mengantuk dan tidur berkaitan dengan jam biologis tubuh yang disebut irama sirkadian dan melibatkan zat otak bernama melatonin yang terutama meningkat produksinya saat gelap datang.
Tidur yang benar adalah tidur dalam waktu cukup ketika kita merasa pulas dan kemudia rileks dan segar ketika bangun. Ini bukan durasi tidur, tetapi berkaitan dengan kualitas tidur. Kita bisa tidur lebih panjang dan lama, tetapi tanpa kualitas (tidak pulas). Namun kita juga bisa tidur dalam waktu singkat dan berkualitas. Dorongan untuk tidur dipengaruhi oleh banyak faktor. Ketika kita bisa membatasi tidur, dan mengisinya dengan tidur berkualitas, sama artinya dengan kita meminimalkan kecendrungan tubuh untuk diam. Lebih banyak hal yang dapat kita lakukan saat sadar ketimbang tidur. Para penidur biasanya orang malas dan hampir selalu merupakan orang gagal mendapatkan kebaikan hidup. Mengontrol tidur sama halnya mengontrol diri.
2. Bicara Seperlunya
Kontrol bicara menempati posisi kunci dalam upaya kontrol diri karena bicaralah yang membuat manusia menjadi manusia, dan manusia berbeda dengan makhluk lain. Ketika nenek moyang kita bisa berbahasa, dan terutama berbicara, ketika itu pula mereka membangun peradaban besar. Bicara dan bahasa adalah dua hal yang dibawa secara naluriah. Sebuah penelitian membuktikan bahwa sekali seorang bayi mengenal kata, dan seorang anak mengenal huruf, maka secepat kilat kemampuan bahasa mereka berkembang.
Kemampuan berbahasa juga bisa menjadi sumber bencana. Konflik-konflik yang terjadi disekitar kita umumnya disebabkan karena kita tidak piaway memilih dan memilah mana kata yang boleh diutarakan, apalagi kesesuaian yang diucapkan dan dilakukan, merupakan tingkatan tertinggi dalam kontrol bicara, jika kita perhatikan orang-orang yang tidak bisa mengontrol bicara, terutama mereka yang mengucapkan sesuatu yang tidak mereka lakukan, adalah orang-orang yang tidak bisa mengontrol diri. Perilaku mereka kebanyakan perilaku buruk, sekalipun indah dari luar.
Karena itu, jika kita bisa memilih dan memilah apa yang pantas diucapkan, kita pasti bisa mengontrol diri. Dorongan kita untuk berbicara sangat kuat. Karena itu, bicara seperlunya merupakan kiat sederhana dalam mengontrol dorongan itu.
1. Tidur Sekedarnya
Bagi manusia tidur memiliki dua fungsi utama: membuat tubuh menjadi rileks untuk kegiatan berikutnya dan memberi kesempatan pada otak untuk melakukan konsolidasi dalam pembentukan memori. Mengantuk dan tidur berkaitan dengan jam biologis tubuh yang disebut irama sirkadian dan melibatkan zat otak bernama melatonin yang terutama meningkat produksinya saat gelap datang.
Tidur yang benar adalah tidur dalam waktu cukup ketika kita merasa pulas dan kemudia rileks dan segar ketika bangun. Ini bukan durasi tidur, tetapi berkaitan dengan kualitas tidur. Kita bisa tidur lebih panjang dan lama, tetapi tanpa kualitas (tidak pulas). Namun kita juga bisa tidur dalam waktu singkat dan berkualitas. Dorongan untuk tidur dipengaruhi oleh banyak faktor. Ketika kita bisa membatasi tidur, dan mengisinya dengan tidur berkualitas, sama artinya dengan kita meminimalkan kecendrungan tubuh untuk diam. Lebih banyak hal yang dapat kita lakukan saat sadar ketimbang tidur. Para penidur biasanya orang malas dan hampir selalu merupakan orang gagal mendapatkan kebaikan hidup. Mengontrol tidur sama halnya mengontrol diri.
2. Bicara Seperlunya
Kontrol bicara menempati posisi kunci dalam upaya kontrol diri karena bicaralah yang membuat manusia menjadi manusia, dan manusia berbeda dengan makhluk lain. Ketika nenek moyang kita bisa berbahasa, dan terutama berbicara, ketika itu pula mereka membangun peradaban besar. Bicara dan bahasa adalah dua hal yang dibawa secara naluriah. Sebuah penelitian membuktikan bahwa sekali seorang bayi mengenal kata, dan seorang anak mengenal huruf, maka secepat kilat kemampuan bahasa mereka berkembang.
Kemampuan berbahasa juga bisa menjadi sumber bencana. Konflik-konflik yang terjadi disekitar kita umumnya disebabkan karena kita tidak piaway memilih dan memilah mana kata yang boleh diutarakan, apalagi kesesuaian yang diucapkan dan dilakukan, merupakan tingkatan tertinggi dalam kontrol bicara, jika kita perhatikan orang-orang yang tidak bisa mengontrol bicara, terutama mereka yang mengucapkan sesuatu yang tidak mereka lakukan, adalah orang-orang yang tidak bisa mengontrol diri. Perilaku mereka kebanyakan perilaku buruk, sekalipun indah dari luar.
Karena itu, jika kita bisa memilih dan memilah apa yang pantas diucapkan, kita pasti bisa mengontrol diri. Dorongan kita untuk berbicara sangat kuat. Karena itu, bicara seperlunya merupakan kiat sederhana dalam mengontrol dorongan itu.
3. Makan Secukupnya
Seperti berbicara, dorongan untuk makan merupakan dorongan yang sangat kuat. Dalam hal ini, kita bisa jadi tidak berbeda dengan binatang. Akibatnya untuk mendapatkan makanan kita kadang bisa berperilaku seperti binatang, bisa mencakar, menggigit, bahkan membunuh. Jika seseorang sudah bisa mendapatkan makanan yang standar, selalu ada kecendrungan untuk mendapatkan makanan yang lebih enak. Kita menggunakan berbagai cara untuk memuaskan naluri makan. Padahal kelezatan makanan hanya dikecap dalam waktu yang sangat singkat, yaitu ketika makanan berada dalam mulut.
Kecendrungan manusia untuk mengenyangkan perut juga merupakan dorongan yang sangat kuat. Tanpa sadar kita semua cendrung memenuhi perut kita dengan segala jenis makanan. Pada akhirnya, makanan dan makanan enak sudah menjadi kegiatan yang otomatis, tanpa kita pikirkan lagi. Makan dan seksual merupakan dorongan terkuat manusia untuk melakukan apa saja. Bahkan melakukan yang melanggar hukum. Jika rakyat merasa lapar dan tidak aman, dapat dipastikan mendorong gerakan revolusi dan akan terjadi revolusi serta kerusahan.
Dari keterangan di atas maka pentingnya kontrol makan. Jika kita sanggup mengelola rasa lapar, misalnya makan sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh saja atau berhenti menguyah makanan sebelum rasa kenyang dapat dipastikan kita dapat mengontrol diri.
Seperti berbicara, dorongan untuk makan merupakan dorongan yang sangat kuat. Dalam hal ini, kita bisa jadi tidak berbeda dengan binatang. Akibatnya untuk mendapatkan makanan kita kadang bisa berperilaku seperti binatang, bisa mencakar, menggigit, bahkan membunuh. Jika seseorang sudah bisa mendapatkan makanan yang standar, selalu ada kecendrungan untuk mendapatkan makanan yang lebih enak. Kita menggunakan berbagai cara untuk memuaskan naluri makan. Padahal kelezatan makanan hanya dikecap dalam waktu yang sangat singkat, yaitu ketika makanan berada dalam mulut.
Kecendrungan manusia untuk mengenyangkan perut juga merupakan dorongan yang sangat kuat. Tanpa sadar kita semua cendrung memenuhi perut kita dengan segala jenis makanan. Pada akhirnya, makanan dan makanan enak sudah menjadi kegiatan yang otomatis, tanpa kita pikirkan lagi. Makan dan seksual merupakan dorongan terkuat manusia untuk melakukan apa saja. Bahkan melakukan yang melanggar hukum. Jika rakyat merasa lapar dan tidak aman, dapat dipastikan mendorong gerakan revolusi dan akan terjadi revolusi serta kerusahan.
Dari keterangan di atas maka pentingnya kontrol makan. Jika kita sanggup mengelola rasa lapar, misalnya makan sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh saja atau berhenti menguyah makanan sebelum rasa kenyang dapat dipastikan kita dapat mengontrol diri.
B.
Husnuzan atau Berbaik Sangka
Berprasangka baik Terhadap AllahSwt.
Sebagian dari mereka ada yang bersandar pada hadits Nabi Saw. yang diceritakan
dari Tuhannya, "Aku menurut prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Silahkan
baginya berprasangka pada-Ku sesukanya." Apa yang Allah perbuat kepada
hamba sesuai dengan prasangkanya kepada-Nya. Prasangka baik haruslah disertai
dengan perbuatan baik. Sesungguhnya, orang yang berbuat baik ialah orang yang
berprasangka baik pada Allah Swt. bahwa Dia akan membalas amal baiknya, tidak
akan mengingkari janji- Nya dan pasti akan menerima taubatnya. Orang yang buruk
adalah orang yang terus-menerus berbuat dosa besar, aniaya, dan menyalahi
perintah serta anjuran Allah Swt. Sesungguhnya, liarnya kemaksiatan, perbuatan
aniaya, dan perkara haram, dapat menghalangi hamba untuk berprasangka baik
kepada Tuhan-Nya. Hal yang demikian ini nyata adanya. Hamba yang menyimpang
keluar dari ketaatan kepada Tuhannya sebenarnya ia tidak berprasangka baik
kepada Tuhannya. Prasangka baik tidak mungkin berkumpul sejalan dengan
perbuatan buruk untuk selamanya. Sesungguhnya, orang yang berbuat buruk akan
dicampakkan menurut kadar keburukannya. Adapun sebaik-baik hamba yang berbaik
sangka kepada Tuhannya adalah yang paling taat kepada-Nya. Al-Hasan al-Bashri
mengatakan, "Sesungguhnya, orang mukmin itu berprasangka baik kepada
Tuhannya, lalu ia beramal baik. Dan, sesungguhnya, orang durhaka itu berburuk
sangka kepada Tuhannya, lalu ia pun buruk amalnya," Bagaimana bisa seorang
hamba berbaik sangka terhadap Tuhannya, sedangkan ia berpaling dari-Nya serta
melakukan per¬buatan yang mendatangkan murka-Nya?.
Bagaimana mungkin seorang hamba berprasangka baik kepada Tuhannya dengan mendeklarasikan peperangan terhadap- Nya, memusuhi para kekasih-Nya, tunduk pada musuh-musuh- Nya, menentang kesempurnaan sifat-Nya, berburuk sangka pada sifat-sifat yang Dia lekatkan pada diri-Nya dan yang telah diterangkan oleh para rasul-Nya, serta dengan kedunguannya, ia menganggap itu adalah sesat dan kufur?!
Bagaimana mungkin seorang hamba dapat berbaik sangka terhadap Tuhannya dengan mengira bahwa Dia tidak berbicara, tidak memerintah, tidak melarang, tidak meridhai, dan tidak murka?! Padahal, Dia telah memberi penjelasan bagi orang yang meragukan sifat Maha Mendengar-Nya terhadap hal-hal yang kecil ataupun ucapan rahasia dengan firman-Nya:
"Dan, yang demikian itu adalah prasangka kalian yang telah kalian sangka kepada Tuhan kalian, Dia telah membinasakan kalian. Maka, jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi. (Q.S. Fushilat [41] : 23)"
Kala mereka menyangka bahwa Allah Swt. tidak mengetahui apa-apa yang mereka perbuat maka mereka telah berprasangka buruk kepada Tuhan mereka. Bahkan, prasangka buruk itu telah menguasainya. Seperti inilah keadaan orang yang mengingkari kesempurnaan sifat-sifat- Nya juga keagungan-Nya dengan menggambarkan sifat-sifat yang tidak pantas bagi-Nya. Jika ia mengira bahwa Allah Swt. akan memasukkannya ke surga, ini merupakan kebohongan serta tipu daya dari dirinya sendiri dan bujukan dari setan dalam bentuk berbaik sangka kepada-Nya.
Perhatikan ini baik-baik, serta renungkanlah, alangkah sangat butuhnya kita kepada-Nya! Bagaimana mungkin seorang hamba yakin bahwa dia akan bertemu Aliah Swt dan yakin bahwa Dia mendengar, melihat keadaannya, mengetahui rahasianya juga yang tampak darinya, tiada yang samar bagi-Nya, dan bahwasanya ia akan dihadapkan kepada- Nya untuk dimintai pertanggungjawaban dari segala yang telah ia perbuat, sedangkan ia tetap melakukan hal-hal yang membuat- Nya murka, menyia-nyiakan perintah-Nya, dan mengabaikan hak-hak-Nya, lalu pantaskah ia dinyatakan telah berbaik sangka terhadap-Nya?! Tidakkah yang demikian ini hanyalah tipuan hawa nafsu dan angan-angan kosong belaka?!
Abu Umamah bin Sahi bin Halif bercerita: "Aku dan Urwah bin Zubair menemui Aisyah Ra. lalu ia berkata: 'Andai kalian berdua melihat Rasulullah Swt. di saat beliau sedang sakit. Waktu itu, dalam genggamanku ada uang enam atau tujuh dinar. Rasulullah Saw. lalu memerintahkanku untuk membagikannya. Akan tetapi, kala itu sakit yang dideritanya membuatku sibuk sampai lupa membagikannya hingga Allah Swt. memberikan kesembuhan kepadanya. Beliau kemudian menanyakan perihal uang itu padaku, 'Apa yang telah kamu lakukan? Sudahkah engkau bagikan uang enam dinar itu?' 'Belum', jawabku, 'Demi Allah, aku sibuk mengurus sakitmu.' Kemudian, beliau memintanya dan meletakkannya di telapak tangan beliau seraya berkata, 'Apa yang ada dalam benak Nabi Allah seandainya ia menjumpai-Nya, sedangkan uang ini masih dalam genggamannya?!' Dalam riwayat lain, 'Apa yang ada dalam benak Muhammad tentang Tuhannya jika bertemu dengan-Nya, sementara uang ini masih di sisinya?"
Ya Allah, apa prasangka para pelaku dosa-dosa besar dan aniaya tatkala mereka menjumpai Tuhannya sementara kezhaliman terhadap para hamba masih di sisi mereka? Seandainya perkataan mereka, "Kami berbaik sangka kepada-Mu bahwa Engkau tidak akan menyiksa orang yang aniaya, juga yang banyak dosa," itu berguna bagi mereka maka silakan berbuat apa pun sesukanya!
Silakan melakukan apa yang Dia larang, silakan berbaik sangka pada Allah bahwasanya neraka tidak akan dapat menyentuhnya. Subhanallah! Bagaimana bisa seorang hamba masih tertipu, padahal Nabi Ibrahim As. Telah berkata pada kaumnya, “Adakah kalian menginginkan sesembahan selain Allah dengan cara berbohong? Lalu, apa prasangka kalian terhadap Tuhan semesta alam?" Maksudnya, apa prasangkamu terhadap apa yang akan Dia perbuat padamu ketika kamu berjumpa dengan-Nya, padahal kalian sungguh telah menyembah kepada selain-Nya?!
Barang siapa mau mencermati masalah ini dengan benar, ia akan tahu bahwa berprasangka baik pada Allah Swt. itu berwujud amal yang baik. Sesungguhnya, yang membawa hamba untuk berbuat baik adalah prasangka baiknya terhadap Allah Swt. bahwa Dia akan membalas segala perbuatannya, memberinya pahala serta menerimanya. Jadi, prasangka baiklah yang membawanya kepada amal baik. Ketika ia berbaik sangka terhadap Tuhannya maka baik juga amalnya. Jika tidak, maka prasangka baiknya yang disertai dengan menuruti hawa nafsu adalah kelemahan. Sebagaimana dalam riwayat at-Tirmidzi dan al-Musnid, dari Syaddad bin Aus, Nabi Saw. bersabda, "Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beramal untuk kehidupan sesudah matinya. Orang yang lemah adalah orang yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan kosong terhadap Allah Swt."
Sederhananya, prasangka baik itu benar hanya jika diiringi dengan sebab-sebab keselamatan. Adapun jika disertai sebab- sebab kehancuran, hal demikian bukanlah prasangka baik karena mungkin saja dikatakan sebagai bentuk prasangka baik dengan bersandar pada luasnya ampunan Allah Swt., rahmat, maaf, dan kemurahan-Nya serta bahwa rahmat-Nya mendahului murka- Nya, memberi hukuman tiada bermanfaat bagi-Nya, dan maaf tidaklah membawa mudharat terhadap-Nya.
Allah Swt. memang begitu, bahkan Dia lebih Agung, lebih Mulia, lebih Pemurah, dan juga lebih Pengasih. Akan tetapi, semua itu harus diletakkan sesuai dengan posisinya, sebab Allah Swt. memiliki sifat Maha Bijaksana, Maha Agung, Maha Membalas, Maha Mempunyai Siksa yang keras, dan Maha Memberikan hukuman bagi siapa saja yang berhak mendapat hukuman.
Jika landasan prasangka baik hanya cukup pada sifat-sifat dan asma' Allah, tentu tidak ada bedanya antara orang baik dan orang buruk, orang mukmin dan orang kafir, juga kekasih dan musuh-Nya. Asma' dan sifat-sifat Allah tidaklah bermanfaat bagi pendosa, sementara ia selalu mendatangkan murka, kemarahan, dan laknat-Nya, jatuh ke dalam hal-hal yang diharamkan-Nya serta melanggar apa-apa yang menjadi larangan-Nya. Prasangka baik bermanfaat bagi orang yang bertaubat, disertai penyesalan dengan meninggalkan perbuatan maksiat, mengganti perbuatan buruk dengan perbuatan baik, dan menyambut sisa umurnya dengan hal yang lebih baik dan ketaatan, kemudian ia berbaik sangka. Inilah yang dinamakan prasangka baik, sedangkan yang pertama tadi adalah tipu daya. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Jangan menyia-nyiakan keterangan ini! Karena, hal ini sangat penting bagi setiap orang yang ingin bisa membedakan antara prasangka baik kepada Allah Swt. dan tipu daya.
Allah Swt. berfirman:
"Sesungguhnya, orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad dijalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah...(Q.S. Al-Baqarah [2] : 218)."
Allah menjadikan mereka golongan orang-orang yang berharap, bukan golongan yang berbuat aniaya, dan bukan pula golongan orang-orang yang fasik. Allah Swt. juga berfirman:
"Dan, sesungguhnya, Tuhanmu (pelindung) bagi orang orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan. Kemudian mereka berjihad dan sabar. Sesungguhnya, Tuhanmu sesudah itu benar- benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nahl [16] : 110)"
Allah Swt. memberitakan bahwa Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang kepada siapa saja yang sudah mengamalkan semua itu. Orang alim meletakkan harapan pada tempatnya, sedangkan orang bodoh yang tertipu meletakkan harapan tidak pada tempatnya. Husnuzan secara bahasa berarti “berbaik sangka” lawan katanya adalah su’uzan yang berarti berburuk sangka atau apriori dan sebagainya. Husnuzan adalah cara pandang seseorang yang membuatnya melihat segala sesuatu secara positif, seorang yang memiliki sikap husnuzan akan mepertimbangkan segala sesuatu dengan pikiran jernih, pikiran dan hatinya bersih dari prasangka yang belum tentu kebenaranya. Sebaliknya orang yang pemikirannya senantiasa dikuasai oleh sikap su’uzan selalu akan memandang segala sesuatu jelek, seolah-olah tidak ada sedikit pun kebaikan dalam pandanganya, pikirannya telah dikungkung oleh sikap yang menganggap orang lain lebih rendah dari pada dirinya. Sikap buruk sangka identik dengan rasa curiga, cemas, amarah dan benci padahal kecurigaan, kecemasan, kemarahan dan kebencian itu hanyalah perasaan semata yang tidak jelas penyebabnya, terkadang apa yang ditakutkan bakal terjadi pada dirinya atau orang lain sama sekali tak terbukti.
Kembali kepada husnuzan, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :Husnuzan kepada Allah, ini dapat ditunjukan dengan sifat tawakal, sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup. Husnuzan kepada diri sendiri, ditunjukan dengan sikap percaya diri dan optimis serta inisiatif Husnuzan kepada sesama manusia, ditunjukan dengan cara senang, berpikir positif dan sikap hormat kepada orang lain tanpa ada rasa curiga.
Bagaimana mungkin seorang hamba berprasangka baik kepada Tuhannya dengan mendeklarasikan peperangan terhadap- Nya, memusuhi para kekasih-Nya, tunduk pada musuh-musuh- Nya, menentang kesempurnaan sifat-Nya, berburuk sangka pada sifat-sifat yang Dia lekatkan pada diri-Nya dan yang telah diterangkan oleh para rasul-Nya, serta dengan kedunguannya, ia menganggap itu adalah sesat dan kufur?!
Bagaimana mungkin seorang hamba dapat berbaik sangka terhadap Tuhannya dengan mengira bahwa Dia tidak berbicara, tidak memerintah, tidak melarang, tidak meridhai, dan tidak murka?! Padahal, Dia telah memberi penjelasan bagi orang yang meragukan sifat Maha Mendengar-Nya terhadap hal-hal yang kecil ataupun ucapan rahasia dengan firman-Nya:
"Dan, yang demikian itu adalah prasangka kalian yang telah kalian sangka kepada Tuhan kalian, Dia telah membinasakan kalian. Maka, jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi. (Q.S. Fushilat [41] : 23)"
Kala mereka menyangka bahwa Allah Swt. tidak mengetahui apa-apa yang mereka perbuat maka mereka telah berprasangka buruk kepada Tuhan mereka. Bahkan, prasangka buruk itu telah menguasainya. Seperti inilah keadaan orang yang mengingkari kesempurnaan sifat-sifat- Nya juga keagungan-Nya dengan menggambarkan sifat-sifat yang tidak pantas bagi-Nya. Jika ia mengira bahwa Allah Swt. akan memasukkannya ke surga, ini merupakan kebohongan serta tipu daya dari dirinya sendiri dan bujukan dari setan dalam bentuk berbaik sangka kepada-Nya.
Perhatikan ini baik-baik, serta renungkanlah, alangkah sangat butuhnya kita kepada-Nya! Bagaimana mungkin seorang hamba yakin bahwa dia akan bertemu Aliah Swt dan yakin bahwa Dia mendengar, melihat keadaannya, mengetahui rahasianya juga yang tampak darinya, tiada yang samar bagi-Nya, dan bahwasanya ia akan dihadapkan kepada- Nya untuk dimintai pertanggungjawaban dari segala yang telah ia perbuat, sedangkan ia tetap melakukan hal-hal yang membuat- Nya murka, menyia-nyiakan perintah-Nya, dan mengabaikan hak-hak-Nya, lalu pantaskah ia dinyatakan telah berbaik sangka terhadap-Nya?! Tidakkah yang demikian ini hanyalah tipuan hawa nafsu dan angan-angan kosong belaka?!
Abu Umamah bin Sahi bin Halif bercerita: "Aku dan Urwah bin Zubair menemui Aisyah Ra. lalu ia berkata: 'Andai kalian berdua melihat Rasulullah Swt. di saat beliau sedang sakit. Waktu itu, dalam genggamanku ada uang enam atau tujuh dinar. Rasulullah Saw. lalu memerintahkanku untuk membagikannya. Akan tetapi, kala itu sakit yang dideritanya membuatku sibuk sampai lupa membagikannya hingga Allah Swt. memberikan kesembuhan kepadanya. Beliau kemudian menanyakan perihal uang itu padaku, 'Apa yang telah kamu lakukan? Sudahkah engkau bagikan uang enam dinar itu?' 'Belum', jawabku, 'Demi Allah, aku sibuk mengurus sakitmu.' Kemudian, beliau memintanya dan meletakkannya di telapak tangan beliau seraya berkata, 'Apa yang ada dalam benak Nabi Allah seandainya ia menjumpai-Nya, sedangkan uang ini masih dalam genggamannya?!' Dalam riwayat lain, 'Apa yang ada dalam benak Muhammad tentang Tuhannya jika bertemu dengan-Nya, sementara uang ini masih di sisinya?"
Ya Allah, apa prasangka para pelaku dosa-dosa besar dan aniaya tatkala mereka menjumpai Tuhannya sementara kezhaliman terhadap para hamba masih di sisi mereka? Seandainya perkataan mereka, "Kami berbaik sangka kepada-Mu bahwa Engkau tidak akan menyiksa orang yang aniaya, juga yang banyak dosa," itu berguna bagi mereka maka silakan berbuat apa pun sesukanya!
Silakan melakukan apa yang Dia larang, silakan berbaik sangka pada Allah bahwasanya neraka tidak akan dapat menyentuhnya. Subhanallah! Bagaimana bisa seorang hamba masih tertipu, padahal Nabi Ibrahim As. Telah berkata pada kaumnya, “Adakah kalian menginginkan sesembahan selain Allah dengan cara berbohong? Lalu, apa prasangka kalian terhadap Tuhan semesta alam?" Maksudnya, apa prasangkamu terhadap apa yang akan Dia perbuat padamu ketika kamu berjumpa dengan-Nya, padahal kalian sungguh telah menyembah kepada selain-Nya?!
Barang siapa mau mencermati masalah ini dengan benar, ia akan tahu bahwa berprasangka baik pada Allah Swt. itu berwujud amal yang baik. Sesungguhnya, yang membawa hamba untuk berbuat baik adalah prasangka baiknya terhadap Allah Swt. bahwa Dia akan membalas segala perbuatannya, memberinya pahala serta menerimanya. Jadi, prasangka baiklah yang membawanya kepada amal baik. Ketika ia berbaik sangka terhadap Tuhannya maka baik juga amalnya. Jika tidak, maka prasangka baiknya yang disertai dengan menuruti hawa nafsu adalah kelemahan. Sebagaimana dalam riwayat at-Tirmidzi dan al-Musnid, dari Syaddad bin Aus, Nabi Saw. bersabda, "Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beramal untuk kehidupan sesudah matinya. Orang yang lemah adalah orang yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan kosong terhadap Allah Swt."
Sederhananya, prasangka baik itu benar hanya jika diiringi dengan sebab-sebab keselamatan. Adapun jika disertai sebab- sebab kehancuran, hal demikian bukanlah prasangka baik karena mungkin saja dikatakan sebagai bentuk prasangka baik dengan bersandar pada luasnya ampunan Allah Swt., rahmat, maaf, dan kemurahan-Nya serta bahwa rahmat-Nya mendahului murka- Nya, memberi hukuman tiada bermanfaat bagi-Nya, dan maaf tidaklah membawa mudharat terhadap-Nya.
Allah Swt. memang begitu, bahkan Dia lebih Agung, lebih Mulia, lebih Pemurah, dan juga lebih Pengasih. Akan tetapi, semua itu harus diletakkan sesuai dengan posisinya, sebab Allah Swt. memiliki sifat Maha Bijaksana, Maha Agung, Maha Membalas, Maha Mempunyai Siksa yang keras, dan Maha Memberikan hukuman bagi siapa saja yang berhak mendapat hukuman.
Jika landasan prasangka baik hanya cukup pada sifat-sifat dan asma' Allah, tentu tidak ada bedanya antara orang baik dan orang buruk, orang mukmin dan orang kafir, juga kekasih dan musuh-Nya. Asma' dan sifat-sifat Allah tidaklah bermanfaat bagi pendosa, sementara ia selalu mendatangkan murka, kemarahan, dan laknat-Nya, jatuh ke dalam hal-hal yang diharamkan-Nya serta melanggar apa-apa yang menjadi larangan-Nya. Prasangka baik bermanfaat bagi orang yang bertaubat, disertai penyesalan dengan meninggalkan perbuatan maksiat, mengganti perbuatan buruk dengan perbuatan baik, dan menyambut sisa umurnya dengan hal yang lebih baik dan ketaatan, kemudian ia berbaik sangka. Inilah yang dinamakan prasangka baik, sedangkan yang pertama tadi adalah tipu daya. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Jangan menyia-nyiakan keterangan ini! Karena, hal ini sangat penting bagi setiap orang yang ingin bisa membedakan antara prasangka baik kepada Allah Swt. dan tipu daya.
Allah Swt. berfirman:
"Sesungguhnya, orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad dijalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah...(Q.S. Al-Baqarah [2] : 218)."
Allah menjadikan mereka golongan orang-orang yang berharap, bukan golongan yang berbuat aniaya, dan bukan pula golongan orang-orang yang fasik. Allah Swt. juga berfirman:
"Dan, sesungguhnya, Tuhanmu (pelindung) bagi orang orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan. Kemudian mereka berjihad dan sabar. Sesungguhnya, Tuhanmu sesudah itu benar- benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nahl [16] : 110)"
Allah Swt. memberitakan bahwa Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang kepada siapa saja yang sudah mengamalkan semua itu. Orang alim meletakkan harapan pada tempatnya, sedangkan orang bodoh yang tertipu meletakkan harapan tidak pada tempatnya. Husnuzan secara bahasa berarti “berbaik sangka” lawan katanya adalah su’uzan yang berarti berburuk sangka atau apriori dan sebagainya. Husnuzan adalah cara pandang seseorang yang membuatnya melihat segala sesuatu secara positif, seorang yang memiliki sikap husnuzan akan mepertimbangkan segala sesuatu dengan pikiran jernih, pikiran dan hatinya bersih dari prasangka yang belum tentu kebenaranya. Sebaliknya orang yang pemikirannya senantiasa dikuasai oleh sikap su’uzan selalu akan memandang segala sesuatu jelek, seolah-olah tidak ada sedikit pun kebaikan dalam pandanganya, pikirannya telah dikungkung oleh sikap yang menganggap orang lain lebih rendah dari pada dirinya. Sikap buruk sangka identik dengan rasa curiga, cemas, amarah dan benci padahal kecurigaan, kecemasan, kemarahan dan kebencian itu hanyalah perasaan semata yang tidak jelas penyebabnya, terkadang apa yang ditakutkan bakal terjadi pada dirinya atau orang lain sama sekali tak terbukti.
Kembali kepada husnuzan, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :Husnuzan kepada Allah, ini dapat ditunjukan dengan sifat tawakal, sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup. Husnuzan kepada diri sendiri, ditunjukan dengan sikap percaya diri dan optimis serta inisiatif Husnuzan kepada sesama manusia, ditunjukan dengan cara senang, berpikir positif dan sikap hormat kepada orang lain tanpa ada rasa curiga.
MACAM-MACAM
HUSNUZAN
1. Husnuzan Kepada Allah
Salah satu sifat
terpuji yang harus tertanam pada diri adalah adalah sifat husnuzan kepada
Allah, sikap ini ditunjukan dengan selalu berbaik sangka atas segala kehendak
allah terhadap hamba-Nya. Karena banyak hal yang terjadi pada kita seperti
musibah membuat kita secara tidak langsung menganggap Allah telah tidak adil,
padahal sebagai seorang mukmin sejati semestinya kita harus senantiasa
menganggap apa yang ditakdirkan Allah kepada kita adalah yang terbaik. Seseorang boleh saja sedih,
cemas dan gundah bila terkena musibah, akan tetapi jangan sampai berlarut-larut
sehingga membuat dirinya menyalahkan Allah sebagai Penguasa Takdir. Sikap
terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan cara segera menata hati dan perasaan
kemudian menegguhkan sikap bahwa setiap yang ditakdirkan Allah kepada hamba-Nya
mengandung hikmah. Inilah yang disebut dengan sikap husnuzan kepada Allah.
Sebagai seseorang mukmin yang meyakini bahwa Allah Maha Tahu atas apa yang terjadi terhada hamba-Nya, karena itu kita semestinya berpikir optimis, yakin bahwa rahmat dan karunia yang diberikan Allah kepada manusia tidak akan pernah putus. Sebagaimana Firman Allah Swt :
Sebagai seseorang mukmin yang meyakini bahwa Allah Maha Tahu atas apa yang terjadi terhada hamba-Nya, karena itu kita semestinya berpikir optimis, yakin bahwa rahmat dan karunia yang diberikan Allah kepada manusia tidak akan pernah putus. Sebagaimana Firman Allah Swt :
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Dan
rahnat ku meliputi segala sesuatu” (Q.S.Al-A’raf : 156)
Sehubungan dengan ayat
ini, kita perlu ber-husnuzan kepada Allah dalam segala hal dan keadaan, Allah
Maha Tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya, ketika kita senang dan suka karena
mendapatkan rezeki dan kenikmatan dari Allah, maka sebaliknya saat kita dalam
keadaan nestapa dan duka karena mendapatkan ujian dan cobaan hendaknya tetap
ber-husnuzan kepada Allah Swt., sebab semua yang diberikan oleh Allah, baik
berupa kenikmatan maupun cobaan tentu mengandung banyak hikmah dan kebaikan.
Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam sebuah Hadits Qudis yang artinya :
“Selalu
menuruti sangkaan hamba ku terhadap diriku jika ia berprasangka baik maka akan
mendapatkan kebaikan dan jika ia berprasangka buruk maka akan mendapatkan
leburukan” (H.R.at-Tabrani dan Ibnu Hiban).
2. Husnuzan terhadap Diri Sendiri
Perilaku husnuzan
terhadap diri sendiri artinya adalah berperasangka baik terhadap kemampuan yang
dimilki oleh diri sendiri. Dengan kata lain, senantiasa percaya
diri dan tidak merasa rendah diri di hadapan orang lain. Orang yang memiliki
sikap husnuzan terhadap diri sendiri akan senantiasa memiliki semangat yang
tinggi untuk meraih sukses dalam setiap langkahnya. Sebab ia telah mengenali
dengan baik kemempuan yang dimilikinya, sekaligus menerima kelemahan yang ada
pada dirinya, sehingga ia dapat menetahui kapan ia harus maju dan tampil di
depan dan kapan harus menahan diri karena tidak punya kemampuan di bidang itu.
3. Husnuzan terhadap Sesama Manusia
Husnuzan terhadap sesama manusia artinya adalah berprasangka baik
terhadap sesama dan tidak meragukan kemampuan atau tidak bersikap apriori.
Semua orang dipandang baik sebelum terbukti kesalahan atau kekeliruannya, sehingga
tidak menimbulkan kekacauan dalam pergaulan. Orang yang ber-husnuzan terhadap
sesama manusia dalam hidupnya akan memiliki banyak teman, disukai kawan dan
disegani lawan. Husnuzan terhadap sesama manusia juga merupakan kunci
sukses dalam pergaulan, baik pergaulan di Sekolah, keluarga, maupun di
lingkungan masyarkat. Sebab tidak ada pergaulan yang rukun dan harmonis tanpa
adanya prasangka baik antara satu individu dengan individu lainnya.
CONTOH PERILAKU HUSNUZAN
1. Husnuzan kepada Allah dan Sabar Menghadapi
Cobaan-Nya
Berprasangka baik kepada Allah Swt. artinya menganggap qada dan qadar
yang diberikan Allah adalah hal yang terbaik untuk hamba-Nya, karena Allah Swt.
bertindak terhadap hamba-Nya seperti yang disangkakan kepada-Nya, kalau seorang
hamba berprasangka buruk kepada Allah Swt., maka buruklah prasangka Allah
kepada orang tersebut, jika berprasangka baik kepada-Nya, maka baik pulalah
prasangka Allah kepada hamba-Nya.
Cara menunjukkan sikap husnuzan kepada Allah swt adalah :
Cara menunjukkan sikap husnuzan kepada Allah swt adalah :
a. Senantiasa taat kepada Allah.
b. Bersyukur apabila mendapatkan kenikmatan.
c. Bersabar dan ikhlas apabila mendapatkan ujian serta cobaan.
d. Yakin bahwa terdapat hikmah di balik segala penderitaan dan
kegagalan.
2. Husnuzan kepada Diri Sendiri
Husnuzan kepada diri sendiri adalah sikap baik sangka kepada diri
sendiri dan meyakini akan kemampuan dan potensi yang dimiliki. Husnuzan kepada
diri sendiri dapat ditunjukkan dengan sikap gigih dan optimis. Gigih berarti
sikap teguh pendirian, tabah dan ulet atau berkemauan kuat dalam usaha mencapai
sesuatu cita-cita. Sedangkan optimis adalah sikap yang selalu memiliki harapan
baik dan positif dalam segala hal.
Manfaat sikap gigih adalah :
1. Membentuk pribadi yang tangguh
2. Menjadikan seseorang teguh pendirian dan tidak mudah terpengaruh
3. Menjadikan seseorang kreatif.
4. Menyebabkan tidak gampang putus asa dan menyerah terhadap
keadaan
5. Berinisiatif, artinya pelopor atau langkah pertama atau senantiasa
berbuat sesuatu yang
sifatnya produktif. Berinisiatif menuntut sikap bekerja
keras dan etos kerja yang tinggi.
Adapun ciri-ciri orang penuh inisiatif adalah kreatif dan
tidak kenal putus asa
3. Husnuzan kepada Sesama Manusia
Husnuzan kepada sesama manusia adalah sikap yang selalu berpikir dan
berprasangka baik kepada sesama manusia. Sikap ini ditunjukkan dengan rasa
senang, berpikir positif dan sikap saling menghormati antar sesama hamba Allah
tanpa ada rasa curiga, dengki dan perasaan tidak senang tanpa alasan yang
jelas.
Nilai dan manfaat dari sikap Husnuzan kepada manusia mengandung nilai
dan manfaat sebagai berikut a. Hubungan persahabatan dan persaudaraan menjadi
lebih baik.
b. Terhindar dari penyesalan dalam hubungan dengan sesama.
c. Selalu senang dan bahagia atas kebahagiaan orang lain.
HIKMAH HUSNUZAN
Di antara hikmah husnuzan adalah sebagai berikut :
1. Menumbuhkan
perasaan cinta kepada Allah, artinya melaksanakan perintah Allah dan
Rasul serta menjauhi segala larangannya, melaksanakan jihad fisabillilah
dan mencintai
sesama manusia karena Allah.
2. Menumbuhkan
perasaan syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya.
3. Menumbuhkan sikap sabar dan tawakal.
4. Menumbuhkan keinginan untuk berusaha beroleh rahmat dan
nikmat Allah
5. Al – afwu (pemaaf)
6. Al – wafa (menepati janji)
7. Mendorong manusia mencapai kemajuan.
8. Menimbulkan ketentraman.
9. Menghilangkan kesulitan dan kepahitan.
10.Membuahkan kreasi yang produktif dan daya cita yang berguna.
C.
Persaudaraan Islam
Persaudaraan “Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah bersaudara krn itu damaikanlah antara kedua saudaramu
dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat Rahmat.”
Allah SWT banyak menekankan arti persaudaraan sesama muslim dalam banyak ayat. Bahkan agar saling memintakan apapun satu sama lain krn banyak saudara seorang muslim merasa kuat aman dan mendapat perhatian. Dalam persaudaraan terdapat pula hak dan kewajiban minimal ada 6 seperti yg dijelaskan oleh Rasulullah saw.
Hak seorang muslim terhadap muslim lainya ada enam 1. Apabila diberi salam hendaknya dijawab. 2. Apabila diundang hendaknya dipenuhi. 3. Apabila diminta nasihat hendaknya memberi nasihat. 4. Apabila bersin dan mengucapkan hamdallah hendaknya dijawab yarhamukallah. 5. Apabila sakit hendaknya dikunjungi. 6. Apabila dia wafat hendaknya diantar sampai kuburan. .
Ada beberapa hal yg dapat merusak persaudaraan itu diantaranya sombong egois senang memperolok atau mengejek berbangga diri krn keturunannya kemaksiatan krn lali terhadap Allah meninggalkan hukum Allah dsb. Kondisi ummat Islam umumnya dan Indonesia khusunya menuntut persaudaraan lbh urgent. Namun demikian kita jangan termakan propaganda kaum salibis yg sedang gencar menyebarkan dakwah persaudaraan kepada ummat Islam dalam rangka menyeret ummat Islam ke dalam ajaran mereka. Naudzubillahi mindzalik.
I. Makna
Ukhuwah IslamiyahAllah SWT banyak menekankan arti persaudaraan sesama muslim dalam banyak ayat. Bahkan agar saling memintakan apapun satu sama lain krn banyak saudara seorang muslim merasa kuat aman dan mendapat perhatian. Dalam persaudaraan terdapat pula hak dan kewajiban minimal ada 6 seperti yg dijelaskan oleh Rasulullah saw.
Hak seorang muslim terhadap muslim lainya ada enam 1. Apabila diberi salam hendaknya dijawab. 2. Apabila diundang hendaknya dipenuhi. 3. Apabila diminta nasihat hendaknya memberi nasihat. 4. Apabila bersin dan mengucapkan hamdallah hendaknya dijawab yarhamukallah. 5. Apabila sakit hendaknya dikunjungi. 6. Apabila dia wafat hendaknya diantar sampai kuburan. .
Ada beberapa hal yg dapat merusak persaudaraan itu diantaranya sombong egois senang memperolok atau mengejek berbangga diri krn keturunannya kemaksiatan krn lali terhadap Allah meninggalkan hukum Allah dsb. Kondisi ummat Islam umumnya dan Indonesia khusunya menuntut persaudaraan lbh urgent. Namun demikian kita jangan termakan propaganda kaum salibis yg sedang gencar menyebarkan dakwah persaudaraan kepada ummat Islam dalam rangka menyeret ummat Islam ke dalam ajaran mereka. Naudzubillahi mindzalik.
Menumbuhkan kesadaran untuk memelihara persaudaraan serta menjauhkan diri dari perpecahan, merupakan realisasi pengakuan bahwa pada hakikatnya kedudukan manusia adalah sama. Di hadapan Allah SWT, sebagai hamba dan khalifah-Nya.
Allah mengembalikan dasar keturunan manusia kepada nenek moyangnya yaitu Adam dan Hawa, karena Allah hendak menjadikan tempat bertemu yang kokoh dari hubungan keakraban ukhuwah atau persaudaraan seluruh anak manusia. Tidak ada perbedaan di antara hamba Allah, tiadalah seseorang dari yang lain, kecuali ketakwaan mereka kepada Allah (QS. Al Hujurat (49) : 10-13).
Persaudaraan ini adalah konsekuensi iman. Kita telah mengetahui hak muslim atas sesama muslim. Hak-hak itu merupakan hak-hak umum bagi persaudaraan umum, tetapi menurut sunnah bahwa disamping persaudaraan umum itu ada persaudaraan khusus yang timbul sesama mereka guna memperkuat ikatan-ikatan persaudaraan umum dan menjadi faktor pendukung dalam mencapai kesempurnaan dalam masyarakat Islam.
Oleh sebab itu, diantara kewajiban yang mendesak adalah penegasan akan adab-adab persaudaraan khusus ini, karena dikhawatirkan hubungan antara putra-putri Islam akan menjadi hubungan formal dan kering. Sebab, bila fenomena ini telah menyebar luas maka gerakan Islam akan hilang karakteristiknya yang paling utama, bahkan akan kehilangan esensi namanya. Alangkah nikmat dan indahnya ajaran Islam yang menganjurkan kasih sayang, berbahagialah kaum muslim yang senantiasa hidupnya diliputi suasana kasih sayang.
Berbuat baik dalam arti luas harus mencakup nilai-nilai ruhaniah dan lahiriah. Nilai ruhaniyah yaitu iman dan aqidah serta segala bentuk perbuatan yang ubudiyah (penghambaan diri kepada Maha Pencipta). Niali lahiriyah, yaitu segala perbuatan yang berhubungan dengan hamba Allah di dalam keluarga sehari-hari, dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga sampai kepada lingkungan masyarakat bahkan negara. Pengertiannya adalah tidak benar seseorang yang baik ibadahnya, tetapi perbuatannya merugikan masyarakat, sebaliknya tiadak benar seseorang yang baik di mata masyarakat tetapi ibadahnya sembarangan.bahkan apabila kita renungkan secara sadar maka kita berkesimpulan bahwa seseorang yang ibadahnya baik sudah pasti ia pun akan baik terhadap masyarakat sebab iman dan taqwa yang benar akan menumbuhkan penghambaan yang ikhlas kepada Allah, dari penghambaan yang ikhlas terpancar akhlaq yang luhur, hatinya terbuka penuh kasih sayang, serta perbuatannya banyak memberi manfaat bagi sesamanya. Hal ini karena seseorang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah tidaklah mengharapkan balas jasa ataupun upah melainkan Allah semata.
II. Perdamaian Merupakan Unsur Mempersubur Persaudaraan
Perdamaian adalah faktor penting dalam hidup dari kehidupan manusia. Dunia tanpa adanya perdamaian tentu akan mengalami kehancuran dan malapetaka yang besar. Dan apabila sudah tidak ada perdamaian berarti rusaklah agama yang diamanatkan oleh Allah dengan demikian kita semua akan memperoleh murka-Nya (QS Al Hujurat (49) : 9).
Jelaslah bahwa Islam adalah agama perdamaian, Islam tidak menghendaki kehancuran yang diakibatkan pertikaian, pertentangan dan peperangan. Karena itulah menjadi kewajiban kita sesama muslim untuk senantiasa memelihara perdamaian, membina persatuan dan kesatuan ummat (QS. Al Ahzab (33) : 70-71).
Islam mengajarkan kepada umatnya agar suka berjuang dan berbuat baik serta menjauhkan diri dari persengketaan dan menumbuhkan perdamaian di masyarakat secara luas. Pengertiannya adalah apabila kehidupan suatu masyarakat telah dihiasi dengan keadilan, maka Allah akan menciptakan satu kehidupan yang damai dan penuh kenikmatan.
Untuk menyuburkan keakraban dan persaudaraan dalam Islam, diperkuat pula dengan ajaran yang melarang setiap muslim berlaku sombong dan membanggakan diri. Karena membanggakan diri dan berlaku sombong tidak akan mendapat tempat di masyarakat yang meyakini bahwa kemuliaan itu ditentukan oleh taqwa seseorang di dalam hatinya, sedangkan tidak seorangpun dapat mengetahui rahasia hati, kecuali Allah Yang Maha Mengetahui.
III. Hal-hal Yang Menguatkan Ukhuwah Islamiyah
Saling mencintai dikalangan orang-orang beriman merupakan tuntutan syari’at dan sangat dicintai agama. Oleh karena itu, Islam mengajarkan jalan yang dapat memperkuat ukhuwah tersebut, diantaranya:
1. Saling memberi hadiah
2. Memanggilnya dengan nama kesukaannya, baik disaat dia tidak ada ataupun disaat ada di hadapannya
3. Menyanjungnya dengan kebaikan-kebaikannya yang kita ketahui, karena hal ini termasuk sesuatu yang dapat menumbuhkan rasa cinta
4. Menyanjung anak-anak, keluarga dan perbuatannya bahkan hingga akhlaq, akal, postur tubuh, tulisan, syair, karangan dan semua yang disukainya, tanpa dusta dan berlebih-lebihan tetapi menilai baik apa yang bisa dinilai baik memang harus dilakukan
5. Menyampaikan sanjungan orang yang menyanjungnya dengan menampakkan kesenangan karena menyembunyikan hal itu termasuk kedengkian
6. Mensyukuri jasa baiknya kepada Allah, bahkan atas niatnya sekalipun belum terlaksana
7. Membelanya ketika dia tidak ada, dari orang yang bermaksud buruk kepadanya atau orang yang menyerangnya dengan ucapan yang tegas atu terselubung, karena di antara hak ukhuwah adalah memberikan pembelaan. Sedangkan mendiamkan hal itu dapat mengeruhkan hati dan mengurangi hak ukhuwah.
No comments:
Post a Comment